Jumat, 09 September 2016

Seminar kebudayaan Simalungun I Tahun 1964


Simalungun - Batak - Indonesia


Sebagai salah satu sub-etnis Batak, orang Simalungun adalah bagian tak terpisahkan dari dinamika peradaban masyarakat di bagian Sumatera Timur. Kendati publikasi terhadap Simalungun tidak seheboh subetnis Batak Toba, kontribusi subetnis Simalungun terhadap perjalanan sejarah adalah sama berharganya dengan subetnis Batak lain, baik dalam kerangka perdaban masyarakat Batak maupun dalam lingkup lebih luas yakni sejarah Indonesia dan dunia internasional.


Para punggawa dari subetnis ini pun sudah pernah mencoba untuk merumuskan butir-butir yang menjadi titik awal upaya pendefinisian apa itu Simalungun lewat sebuah seminar kebudayaan.

Berikut isi Keputusan Seminar Kebudayaan Simalungun I Tahun 1964


  1. Bahasa/aksara Simalungun bertindak selaku alat pemersatu atau semen perekat masyarakat yang berfungsi dapat menggalang segala potensi aktif masa rakyat, demi menyelesaikan revolusi Indonesia.
  2. Hukum Adat perkawinan Simalungun berfungsi mengatur kelanjutan keturunan dalam kekeluargaan dan bertujuan membina sesuatu kekeluargaan Indonesia yang sifatnya menuju kepada proses nation building & character building.
  3. Marga-marga Simalungun adalah suatu rangkaian dari kerangka bangsa Indonesia. Orang Simalungun adalah mereka yang merasa dan mengaku dirinya orang Simalungun serta memperlakukan kebudayaan Simalungun sebagai kebiasaan di dalam hidupnya yang senantiasa dijiwai semangat Bhinneka Tunggal Ika.
  4. Kesenian Simalungun adalah hasil pancaran budi nurani manusia Simalungun yang melukiskan keindahan dan keharmonisan yang mengandung ciri-ciri khas kepribadian bangsa Indonesia.
  5. Olah raga Simalungun yang terdiri dari bermacam-macam itu dapat diperkembangkan sedemian rupa. Sehingga membentuk manusia baru Indonesia yang berjiwa dinamis, sportif dan kolektif. Demi menyelesaikan revolusi Indonesia.
  6. Hukum tanah Simalungun, bentuknya sejalan dengan land reform yaitu sesuai dengan undang-undang pokok agrarian No. 5/1960 dan mempunyai fungsi sosial sebagaimana temaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945.
  7. Kebudayaan Simalungun itu adalah suatu Kebudayaan yang mempunyai ciri-ciri khas yang dapat merupakan modal dalam rangka pembinaan kebudayaan nasional dari Sabang ke Merauke.




Pematang Siantar, 28 Februari 1964.





Sidamanik sendiri, sebagai salah satu dari kecamatan di Kabupaten Simalungun merupakan situs mahakaya yang bisa dihidupi dan dipelajari untuk menemukan bagaimana pluralitas dan keinginan untuk melestarikan keaslian budaya Simalungun menjadi tali - temali dalam panggung peradaban dan dinamika sejarah manusia-manusia yang tinggal di hamparan perbukitan Simalungun ini. Sidamanik sama kayanya, atau mungkin lebih dibanding kecamatan lain, dalam hal kandungan nilai sejarah peradaban orang Simalungun.

Cukup dengan datang ke Pesta Rondang Bintang, martandang antar kampung dan menikmati sejuknya udara di perbukitan yang ditumbuhi pohon teh milik perkebunan yang didominasi trah Suharto ini, bersenandung "Simarjarunjung" atau melenggok mengikuti irama "Sitalasari" gubahan nan indah dari Taralamsyah Saragih, tentu teman-teman dari Simalungun akan mengerti apa yang penulis maksudkan.



Rabu, 13 Juli 2016

Soliloqui seorang Anak Rantau

Hmmmm.... Sejak saya kecil masalah ini mungkin tidak akan pernah selesai. Iya, masalah rusaknya jalan di Sidamanik ini. Kalau mau jujur, kita tahu penyebabnya. Tapi ya hanya bisa diam dan diam. 

Jalan yang rusak di Sidamanik ya penyebabnya tak lain ya karena korupsi.

Masa sih? Iya. Dari dulu kalee!!!!!

Siapa yg korup? Tanya tuh pejabat daerah setempat! Hehe ... Tapi, mana mungkin ngaku iya, kan?

Saya jadi teringat waktu saya kecil. Saat itu ada proyek pembangunan jalan kecil di daerah dekat rumah saya. Dulu namanya Jalan Nenas, Sarimatondang I, Kec. Sidamanik. Jalan dibangun menggunakan campuran pasir dan batu-batuan yang sebetulnya banyak tersedia di Aek Toru dan Bah Biak.



Singkat cerita, pembangunan Jalan Nenas pun usai. Yang mengejutkan ialah: Alokasi Dana yg dicantumkan dulu di pangkalan Jalan Nenas tadi (tentu sekarang tulisan itu tidak disana lagi, wong waktu itu hanya ditulis menggunakan kertas karton putih) tertulis menghabiskan hingga ratusan juta rupiah. Saat itu saya masih SD. Sekarang baru keanehan itu terasa benar: "Kok ratusan juta rupiah? Hanya dengan bahan begitu dan jalan yang hanya sepanjang gang itu?"

Pada periode tersebut tentunya dana sebanyak itu sudah bisa membangun aspal beton atau jalan tol sejauh 1 km. Tapi, ya sudahlah. Sudah berlalu. Mungkin pejabat daerah yang dulu menjabat saat proyek ecek-ecek terlaksana, tidak menjabat lagi, atau sudah tiada.

Tapi keanehan ini rasanya bukan hanya saya yang merasakan. Sebagai putra daerah yang lahir disana, besar disana entah akan kembali kesana atau tidak kelak, saya titip pesan kepada kaum muda yang masih tinggal disana: Ayooo dong bersuara, jangan mau dibodohi.

Sekarang sudah tahun 2016, belasan tahun sejak kita menikmati kebebasan berpendapat, tentu dengan kehati-hatian dan intensi kritik positif. Wong sekarang Presiden aja bisa dikritik di media sosial kok kalau salah.



Disadur seperlunya dari posting akun FB Rumahorbo.